Hukum sejatinya adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, yang digunakan sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana.
Dari pernyataan diatas terpampang benar bagaimana kekuatan dan fungsi hukum sebenarnya. Indonesia, di masa orde baru hukum hanyalah menjadi instrument bagi penguasa untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan serta melindungi birokrasi dan ekskutif yang korup. Ketika itu lembaga-lembaga penegak hukum telah dikebiri dan sepenuhnya dibawah kontrol kekuasaan ekskutif, sehingga mereka tidak memiliki kemerdekaan dan independesi serta tak lepas dari intervensi elit penguasa.
Pada
saat itu simbol keadilan yang dilambangkan oleh Dewi Themis yang tertutup
matanya, sehingga digambarkan hukum menjadi tidak terlihat dan keadilan menjadi
pilih-pilih juga diskriminatif. Hukum hanya ibarat “ jaring laba-laba ” yang
hanya mampu menjaring serangga kecil yang tak berdaya, dan jaring hukum itu
akan mudah robek dan terkoyak-koyak jika berhadapan dengan binatang besar dan
kuat. Sekalipun itu terkesan sangat menggenerelasi, namun kebenarannya tidak
dapat dinafikan begitu saja.
Banyak
fenomena hukum yang tidak dapat dicerna oleh rakyat Indonesia. Setidaknya
logika hukum masyarakat sulit menerima jika maling ayam begitu mudah dimasukkan
ke dalam penjara, namun hukum menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan
terdakwa kasus korupsi kelas kakap hanya karena beralasan sakit atau sedang
berobat keluar negeri. Sungguh ironis…Seperti juga ungkapan Bung Rhoma,
“terlalu…”.
Era
Reformasi, Apakah penegakan supremasi hukum berhasil..??,jawabannya TIDAK.
Salah satu tolak ukur yang cukup signifikan untuk melihat sejauh mana penegakan
supremasi hukum adalah sejauh mana keberhasilan pemberantasan korupsi yang
setimpal.Harus diakui di era reformasi ini banyak sekali keberhasilan atas
penyelesaian kasus-kasus korupsi dan dibuatnya perangkat undang-undang baru
terhadap pelanggaran korupsi,namun secara garis besar belum terlihat perubahan
yang cukup signifikan ke arah penegakan supremasi hukum.Hal ini didasari oleh
fakta bahwa masih banyak pelaku KKN yang tidak dapat dijerat hukum,ini terkesan
membuat kinerja perangkat keadilan negara sendiri seperti maju mundur, sehingga
tidak menjalankan tugasnya dengan baik sebagai komponen hukum.
Bekerjanya
sistem hukum ( penegakan hukum ) tidak dapat lepas dari tiga komponen, yaitu
komponen substansi, komponen struktur, dan komponen kultur.Dua komponen
terakhir ini yang tampaknya belum banyak direformasi sehingga penegakan
supremasi hukum masih mengecewakan.Jika penegakan supremasi hukum ingin
diwujudkan, lembaga penegak hokum sebagai komponen struktur harus dilepaskan
dari pola dan kultur orde baru yang selama ini menjadi mind set aparat penegak hukum.Komponen kultur hukum merupakan
bagian lain dari komponen sistem hukum yang masih memprihatinkan,baik dalam
tataran institusi penegak hukum maupun masyarakatnya sendiri.
Peran
serta masyarakat dalam supremasi hukum sangatlah strategis. Semua elemen yang
ada di masyarakat memiliki hak dan harus berperan sebagai pengawal jalannya
penegakan supremasi hukum, hal ini berkaitan karena jika tidak adanya penegakan
hokum yang transparan terhadap masyarakat akan menimbulkan ketidakpuasan dan
ketidakadilan yang justru berpotensi menyebabkan masyarakat memberontak dan
membuat fenomena pengadilan massa sehingga akan berdampak ketidakpercayaan
masyarakat terhadap Negara.
Secara
teoritis, supremasi hukum menuntut adanya unsur-unsur yang mencakup pendekatan
sistemik,mengutamakan kebenaran dan keadilan, senantiasa melakukan promosi dan
perlindungan HAM, menjaga keseimbangan moralitas institusonal, moralitas sosial
dan moralitas sipil, serta penegakan hokum yang bermuara pada penyelesaian
konflik, perpaduan antara tindakan represif dan tindakan preventif.Jika
kondisi-kondisi tersebut dapat dipenuhi, maka insyaallah cita-cita penegakan
supremasi hokum akan di wujudkan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar